PENGGUNAAN bahan bakar minyak (BBM) sampai saat ini masih sangat dominan dalam pemenuhan energi di Indonesia. Berdasarkan jenisnya BBM yang paling banyak dikonsumsi adalah minyak premium, solar dan minyak tanah.
Menurut data dari Pertamina konsumsi BBM di Bangka Belitung sebesar 362.935 kl/hari terdiri dari premium 142.141 kl, minyak tanah 41.098 kl dan minyak solar 179.935 kl dan telah sesuai dengan kebutuhan melalui perhitungan pemakaian, namun kenyataanya jumlah tersebut selalu kurang dan kadang-kadang menjadi langka, ini terlihat melalui antrian yang panjang pada pembelian di tiap SPBU, sehingga timbul praduga lain, kemana larinya BBM tersebut?
Kelangkaan dan mahalnya harga BBM terutama minyak solar berimbas pada seluruh lapisan masyarakat. Akibatnya semua sektor usaha industri dan perdagangan harus mengimbangi pula dengan kenaikan harga jual barang. Kesulitan BBM yang terus berlarut dapat pula menghambat iklim investasi di suatu daerah, di mana perkembangan industri dan perdagangan sangat erat keterkaitannya dengan ketersediaan BBM.
Persoalan BBM adalah persoalan pemerintah, namun kita berharap ketergantungan pada konsumsi minyak bumi ini akan berkurang dan harus berupaya melakukan penghematan dalam pemakaiannya dan perlu melakukan upaya mencari bahan pengganti. Untuk mengantisipasi kebijakan kenaikan BBM ke depan dengan semakin menipisnya cadangan minyak nasional, diharapkan pemeritah/pemeritah daerah mulai memikirkan atau melakukan diversifikasi energi lain yang lebih murah, salah satunya adalah batubara.
Istilah batubara merupakan hasil terjemahan dari “coal”. Disebut batubara mungkin karena dapat terbakar seperti halnya arang kayu. Defenisi dari batubara itu sendiri menurut Muchjidin (2005),
“Batubara adalah batuan sedimen yang secara kimia dan fisika adalah heterogen dan mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen sebagai unsur utama dan belerang serta nitrogen sebagai unsur tambahan. Zat lain, yaitu senyawa organik pembentuk “ash” tersebar sebagai partikel zat mineral dan terpisah-pisah di seluruh senyawa batubara. Beberapa jenis batu meleleh dan menjadi plastis apabila dipanaskan, tetapi meninggalkan residu yang disebut kokas. Batubara dapat dibakar untuk membangkitkan uap atau dikarbonisasikan untuk membuat bahan bakar cair atau dihidrogenisasikan untuk membuat metan. Gas sintetis atau bahan bakar berupa gas dapat diproduksi sebagai produk utama dengan jalan gasifikasi sempurna dari batubara dengan oksigen dan uap atau udara dan uap”.
Dari defenisi yang lengkap ini salah satunya adalah selain batubara dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit uap di PLTU, beberapa jenis batubara juga dapat diubah menjadi bahan bakar minyak melalui cara pencairan batubara atau tersebut liquifaksi (coal liquiefaction).
Pemakaian batubara sebagai energi telah dilakukan pada abad 19 yaitu untuk menggerakkan lokomotif dan mesin uap. Perkembangan selanjutnya tahun 1949 di Pengaron sebuah dusun di sepanjang Sungai Mahakam (Kaliman Timur) oleh perusahaan Belanda “Oost Borneo Ma’atsc Happij” dioperasikan tambang batubara.
Tahun 1892 pemerintah kolonial Belanda memulai pengoperasian dan memproduksi batubara di Ombilin (Sumatera Barat). Tahun 1919 disusul pembukaan tambang batubara di Bukit Asam (Sumsel), yang kini terbesar di Indonesia. Akhir abad 19 pemakaian batubara mengalami penurunan drastis akibat ditemukannya BBM yang lebih nyaman dan murah. Tahun 1945 - 1970 semua tambang batubara di Indonesia hampir tutup karena tidak ekonomis.
Prospek kebangkitan kembali pertambangan batubara dimulai lagi setelah terjadi krisis BBM tahun 1973 - 1974, sehingga berbagai negara termasuk Indonesia melihat kembali dan membuat kebijakan diversifikasi energi dan batubara menjadi pilihan energi alternatif. Tahun 1976 muncul surat perintah Presiden Republik Indonesia yang memerintahkan kepada Menteri Perkerja Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) agar pemanfaatan batubara dikembangkan lagi, terutama sebagai bahan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan pabrik semen. Sebagai dampak dari surat perintah tersebut, tambang-tambang batubara yang tadinya hampir tutup diaktifkan kembali. Kemudian disusul dengan ekplorasi endapan-endapan baru di Kalimantan Timur dan Selatan yang sampai saat ini sedang berproduksi.
Sebagai energi alternatif, batubara diharapkan ke depan selain dapat menggantikan peran minyak bumi juga harus mampu menampung kebutuhan energi yang kian meningkat pemakaiannya .
Batubara makin hari makin menjadi komoditas yang penting karena meningkatnya kebutuhan energi. Tahun 1999 sumber daya batubara mencapai 38,9 miliar ton dan hasil survey sampai tahun 2003 sumber daya batubara mencapai 57,85 miliar ton dan angka ini akan bertambah karena masih terus dilakukan ekplorasi di daerah yang baru. Sumber daya batubara Indonesia terdapat di Sumatera 45 persen, Kalimantan 54 persen, sisanya adalah Jawa, Sulawesi dan Irian Jaya.
Dewasa ini penggunaan batubara di dalam negeri adalah sebagai sumber energi panas dan bahan bakar, terutama dalam pembangkit tenaga listrik dan industri semen serta dalam jumlah yang terbatas pada industri kecil, seperti pembakaran batu gamping, genteng , sebagai reduktor dan industri pelabuhan timah dan nikel. Selain itu batubara Indonesia digunakan untuk ekspor ke berbagai negara antara lain Afrika, Eropa , Amerika dan Asia (Jepang, Taiwan, Hongkong, Korea) dan lain-lain. Pemakaian batubara terbesar sesuai urutannya adalah PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara, disusul oleh industri aemen yang secara keseluruhan telah beralih ke batubara, kemudian industri kimia, kertas, metalurgi, briket batubara dan penggunaan industri kecil lainya. Penggunaan batubara untuk PLTU pada tahun 1999 sebesar 26,9 juta ton, tahun 2004 sebesar 61,5 juta ton dan sampai tahun 2008 perkiraan pemakaian batubara mencapai 71,8 juta ton. Sedangkan produksi batubara Indonesia sampai tahun 2006 sebesar 160,4 juta ton, ekspor 120,8 juta ton dan pemakaian dalam negeri 35,95 juta ton dengan total produksi 156,75 juta ton.
Secara umum batubara Indonesia termasuk bahan bakar. Pengubahan batubara dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui pembuatan gas atau gasifikasi dan pencairan batubara atau liquifaksi (coal liquefaction). Dalam proses gasifikasi semua gas organik dalam batubara diubah ke dalam bentuk gas terutama karbonmonoksida, karbondioksida dan hidrogen. Gas ini kemudian dapat diubah menjadi bahan-bahan kimia seperti pupuk dan metanol.
Proses liquifaksi tujuannya adalah mengubah batubara menjadi minyak. Penelitian oleh SASOL (perusahaan yang mengurusi pencairan batubara) di Afrika Selatan telah berhasil mengubah batubara menjadi minyak (Gasoline, Diesel, Jet Fuel ), gas maupun bahan kimia lainnya sehingga Afrika Selatan telah “survive” mengatasi masalah BBM 50 persen kebutuhan BBM Afrika dipasok dari Pabrik Pencairan Batubara sementara SASOL sendiri terdaftar di bursa efek Afrika Selatan dan New York. Produksi SASOL sekitar 150.000 barel/hari.
Pemerintah Indonesia pada tahun 2004 lalu telah mempunyai rencana untuk membangun pilot plant untuk program pencairan batubara di Cirebon (Jawa Barat). Maksud dari pilot plant ini adalah sebagai uji coba dan sekaligus untuk meyakinkan semua pihak bahwa program pencairan batubara ini dapat dilakukan. Teknologi yang akan digunakan adalah teknologi Improve Brown Coal Liquefaction (IBCL) yang dikembangkan oleh Jepang. Sementara Jepang sendiri sudah membangun pilot plant dengan teknologi ini untuk 50 ton/hari di Victoria, Australia.
Pada tahun 2002 pemerintah China telah mengambil keputusan penting, yaitu tidak akan menggantungkan diri pada impor minyak mentah. Sebagai pengganti impor minyak mentah, pemerintah China membuat program pencairan batubara. Untuk mewujudkan program ini perusahaan terbesar di China Shen Hua Group menggandeng perusahaan Amerika Headwaters Technology Innovation (HTI) untuk pencairan batubara secara langsung melalui teknologi yang dikembangkan oleh HTI.
Pemerintah kabupaten Berau (Kaliamantan Timur) juga sangat serius menanggapi persoalan pencairan batubara menjadi minyak sintetis. Dari hasil studi kelayakan, PT Berau Coal berencana akan membangun pabrik ini dengan kapasitas 3.000 ton/hari dan telah menyediakan lahan seluas kurang lebih 60 ha dan rencananya akan dimulai tahun 2009. Untuk membangun pabrik dengan kapasitas 3.000 ton/hari diperlukan dana sekitar USD 800 juta dan produk minyak yang akan dihasilkan 13.350 barrel/hari atau 2.122.650 liter/hari.
Jika ditinjau secara kuantitatif, batubara Indonesia sangat dimungkinkan mengganti peran minyak bumi, tanpa terkendala faktor penyediaan.
Bangka Belitung yang secara geografis dekat dengan sumber cadangan batubara (Sumatera Selatan) seyogyanya perlu memikirkan dan mengantisipasi krisis, kenaikan dan kelangkaan BBM ke depan dengan mencoba memanfaatkan energi batubara sebagai bahan bakar, yaitu dengan membangun PLTU, atau mengganti PLTD menjadi PLTU, serta melalui konsorsium untuk merencanakan dan membuat pilot plant pencairan batubara menjadi bahan bakar minyak, seperti yang dilakukan Kabupaten Berau Kalimantan Timur. (*)
Kelangkaan dan mahalnya harga BBM terutama minyak solar berimbas pada seluruh lapisan masyarakat. Akibatnya semua sektor usaha industri dan perdagangan harus mengimbangi pula dengan kenaikan harga jual barang. Kesulitan BBM yang terus berlarut dapat pula menghambat iklim investasi di suatu daerah, di mana perkembangan industri dan perdagangan sangat erat keterkaitannya dengan ketersediaan BBM.
Persoalan BBM adalah persoalan pemerintah, namun kita berharap ketergantungan pada konsumsi minyak bumi ini akan berkurang dan harus berupaya melakukan penghematan dalam pemakaiannya dan perlu melakukan upaya mencari bahan pengganti. Untuk mengantisipasi kebijakan kenaikan BBM ke depan dengan semakin menipisnya cadangan minyak nasional, diharapkan pemeritah/pemeritah daerah mulai memikirkan atau melakukan diversifikasi energi lain yang lebih murah, salah satunya adalah batubara.
Batubara sebagai Energi
Istilah batubara merupakan hasil terjemahan dari “coal”. Disebut batubara mungkin karena dapat terbakar seperti halnya arang kayu. Defenisi dari batubara itu sendiri menurut Muchjidin (2005),
“Batubara adalah batuan sedimen yang secara kimia dan fisika adalah heterogen dan mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen sebagai unsur utama dan belerang serta nitrogen sebagai unsur tambahan. Zat lain, yaitu senyawa organik pembentuk “ash” tersebar sebagai partikel zat mineral dan terpisah-pisah di seluruh senyawa batubara. Beberapa jenis batu meleleh dan menjadi plastis apabila dipanaskan, tetapi meninggalkan residu yang disebut kokas. Batubara dapat dibakar untuk membangkitkan uap atau dikarbonisasikan untuk membuat bahan bakar cair atau dihidrogenisasikan untuk membuat metan. Gas sintetis atau bahan bakar berupa gas dapat diproduksi sebagai produk utama dengan jalan gasifikasi sempurna dari batubara dengan oksigen dan uap atau udara dan uap”.
Dari defenisi yang lengkap ini salah satunya adalah selain batubara dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit uap di PLTU, beberapa jenis batubara juga dapat diubah menjadi bahan bakar minyak melalui cara pencairan batubara atau tersebut liquifaksi (coal liquiefaction).
Pemakaian batubara sebagai energi telah dilakukan pada abad 19 yaitu untuk menggerakkan lokomotif dan mesin uap. Perkembangan selanjutnya tahun 1949 di Pengaron sebuah dusun di sepanjang Sungai Mahakam (Kaliman Timur) oleh perusahaan Belanda “Oost Borneo Ma’atsc Happij” dioperasikan tambang batubara.
Tahun 1892 pemerintah kolonial Belanda memulai pengoperasian dan memproduksi batubara di Ombilin (Sumatera Barat). Tahun 1919 disusul pembukaan tambang batubara di Bukit Asam (Sumsel), yang kini terbesar di Indonesia. Akhir abad 19 pemakaian batubara mengalami penurunan drastis akibat ditemukannya BBM yang lebih nyaman dan murah. Tahun 1945 - 1970 semua tambang batubara di Indonesia hampir tutup karena tidak ekonomis.
Prospek kebangkitan kembali pertambangan batubara dimulai lagi setelah terjadi krisis BBM tahun 1973 - 1974, sehingga berbagai negara termasuk Indonesia melihat kembali dan membuat kebijakan diversifikasi energi dan batubara menjadi pilihan energi alternatif. Tahun 1976 muncul surat perintah Presiden Republik Indonesia yang memerintahkan kepada Menteri Perkerja Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) agar pemanfaatan batubara dikembangkan lagi, terutama sebagai bahan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan pabrik semen. Sebagai dampak dari surat perintah tersebut, tambang-tambang batubara yang tadinya hampir tutup diaktifkan kembali. Kemudian disusul dengan ekplorasi endapan-endapan baru di Kalimantan Timur dan Selatan yang sampai saat ini sedang berproduksi.
Sebagai energi alternatif, batubara diharapkan ke depan selain dapat menggantikan peran minyak bumi juga harus mampu menampung kebutuhan energi yang kian meningkat pemakaiannya .
Sumber Daya Batubara
Batubara makin hari makin menjadi komoditas yang penting karena meningkatnya kebutuhan energi. Tahun 1999 sumber daya batubara mencapai 38,9 miliar ton dan hasil survey sampai tahun 2003 sumber daya batubara mencapai 57,85 miliar ton dan angka ini akan bertambah karena masih terus dilakukan ekplorasi di daerah yang baru. Sumber daya batubara Indonesia terdapat di Sumatera 45 persen, Kalimantan 54 persen, sisanya adalah Jawa, Sulawesi dan Irian Jaya.
Penggunaan Batubara
Dewasa ini penggunaan batubara di dalam negeri adalah sebagai sumber energi panas dan bahan bakar, terutama dalam pembangkit tenaga listrik dan industri semen serta dalam jumlah yang terbatas pada industri kecil, seperti pembakaran batu gamping, genteng , sebagai reduktor dan industri pelabuhan timah dan nikel. Selain itu batubara Indonesia digunakan untuk ekspor ke berbagai negara antara lain Afrika, Eropa , Amerika dan Asia (Jepang, Taiwan, Hongkong, Korea) dan lain-lain. Pemakaian batubara terbesar sesuai urutannya adalah PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara, disusul oleh industri aemen yang secara keseluruhan telah beralih ke batubara, kemudian industri kimia, kertas, metalurgi, briket batubara dan penggunaan industri kecil lainya. Penggunaan batubara untuk PLTU pada tahun 1999 sebesar 26,9 juta ton, tahun 2004 sebesar 61,5 juta ton dan sampai tahun 2008 perkiraan pemakaian batubara mencapai 71,8 juta ton. Sedangkan produksi batubara Indonesia sampai tahun 2006 sebesar 160,4 juta ton, ekspor 120,8 juta ton dan pemakaian dalam negeri 35,95 juta ton dengan total produksi 156,75 juta ton.
Batubara Sebagai Bahan Bakar Minyak
Secara umum batubara Indonesia termasuk bahan bakar. Pengubahan batubara dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui pembuatan gas atau gasifikasi dan pencairan batubara atau liquifaksi (coal liquefaction). Dalam proses gasifikasi semua gas organik dalam batubara diubah ke dalam bentuk gas terutama karbonmonoksida, karbondioksida dan hidrogen. Gas ini kemudian dapat diubah menjadi bahan-bahan kimia seperti pupuk dan metanol.
Proses liquifaksi tujuannya adalah mengubah batubara menjadi minyak. Penelitian oleh SASOL (perusahaan yang mengurusi pencairan batubara) di Afrika Selatan telah berhasil mengubah batubara menjadi minyak (Gasoline, Diesel, Jet Fuel ), gas maupun bahan kimia lainnya sehingga Afrika Selatan telah “survive” mengatasi masalah BBM 50 persen kebutuhan BBM Afrika dipasok dari Pabrik Pencairan Batubara sementara SASOL sendiri terdaftar di bursa efek Afrika Selatan dan New York. Produksi SASOL sekitar 150.000 barel/hari.
Pemerintah Indonesia pada tahun 2004 lalu telah mempunyai rencana untuk membangun pilot plant untuk program pencairan batubara di Cirebon (Jawa Barat). Maksud dari pilot plant ini adalah sebagai uji coba dan sekaligus untuk meyakinkan semua pihak bahwa program pencairan batubara ini dapat dilakukan. Teknologi yang akan digunakan adalah teknologi Improve Brown Coal Liquefaction (IBCL) yang dikembangkan oleh Jepang. Sementara Jepang sendiri sudah membangun pilot plant dengan teknologi ini untuk 50 ton/hari di Victoria, Australia.
Pada tahun 2002 pemerintah China telah mengambil keputusan penting, yaitu tidak akan menggantungkan diri pada impor minyak mentah. Sebagai pengganti impor minyak mentah, pemerintah China membuat program pencairan batubara. Untuk mewujudkan program ini perusahaan terbesar di China Shen Hua Group menggandeng perusahaan Amerika Headwaters Technology Innovation (HTI) untuk pencairan batubara secara langsung melalui teknologi yang dikembangkan oleh HTI.
Pemerintah kabupaten Berau (Kaliamantan Timur) juga sangat serius menanggapi persoalan pencairan batubara menjadi minyak sintetis. Dari hasil studi kelayakan, PT Berau Coal berencana akan membangun pabrik ini dengan kapasitas 3.000 ton/hari dan telah menyediakan lahan seluas kurang lebih 60 ha dan rencananya akan dimulai tahun 2009. Untuk membangun pabrik dengan kapasitas 3.000 ton/hari diperlukan dana sekitar USD 800 juta dan produk minyak yang akan dihasilkan 13.350 barrel/hari atau 2.122.650 liter/hari.
Jika ditinjau secara kuantitatif, batubara Indonesia sangat dimungkinkan mengganti peran minyak bumi, tanpa terkendala faktor penyediaan.
Bangka Belitung yang secara geografis dekat dengan sumber cadangan batubara (Sumatera Selatan) seyogyanya perlu memikirkan dan mengantisipasi krisis, kenaikan dan kelangkaan BBM ke depan dengan mencoba memanfaatkan energi batubara sebagai bahan bakar, yaitu dengan membangun PLTU, atau mengganti PLTD menjadi PLTU, serta melalui konsorsium untuk merencanakan dan membuat pilot plant pencairan batubara menjadi bahan bakar minyak, seperti yang dilakukan Kabupaten Berau Kalimantan Timur. (*)
0 komentar:
Posting Komentar
manusia gda yang sempurna, jadi mohon maaf kalo ada kekurangan, jd mhon berikan komentar buat blog ini biar bisa membangun..