Adsense Indonesia
Follow Indonesiabaru on Twitter

Kamis, 19 November 2009

Peta Dasar

Untuk melengkapi peta dasar teknik dengan unsur-unsur geografi dilakukan pengukuran situasi detail. Dengan adanya situasi detail pada peta dasar pendaftaran, akan membantu identifikasi lapangan dalam menentukan pemilikan bidang-bidang tanah.

A. Pengukuran Situasi


Maksud pengukuran situasi detail adalah memudahkan identifikasi untuk pengikatan bidang-bidang tanah dalam rangka pelaksanaan pengukuran dan pemetaan serta pendaftaran tanahnya..

B. Detail Situasi

Detail-detail situasi terdiri unsur-unsur alam dan unsur-unsur buatan manusia. Tidak semua detail dilakukan pengukuran tetapi hanya dilakukan identifikasi lapangan dan memetakan pada peta, misalnya areal hutan, ilalang dan sebagainya.

B.1.Batas administrasi
Batas administrasi yaitu batas wilayah berdasarkan wilayah penguasaan administrasi pemerintahan. Berdasarkan hirarkis pemeritahan yang tertinggi dapat dibagi menjadi :
1. Batas Negara
2. Batas Dati I atau Batas Propinsi
3. Batas Dati II atau Batas Kotamadya atau Batas Kabupaten
4. Batas Kecamatan
5. Batas Desa atau Batas Kelurahan

Pengukuran batas administrasi harus berdasarkan peta batas wilayah yang sudah disepakati (batas definitif) dan disetujui antara kedua pemerintah yang berbatasan. Apabila peta batas wilayah tidak/ belum ada, maka penentuan batas administrasi dapat dilakukan langsung di lapangan dengan menghadirkan aparat pemerintah yang mengetahui dari kedua pemerintah yang berbatasan.

B.2. Unsur perairan
Unsur perairan adalah detail alam atau buatan manusia yang mengandung unsur-unsur perairan beserta bangunan-bangunan pendukung yang ada di atasnya.
Adapun unsur perairan terdiri dari :
1. Sungai
2. Saluran atau selokan
3. Lautan
4. Danau atau rawa
5. Empang

Sedangkan bangunan-bangunan pendukung yaitu :

1. Bangunan pembagi air
2. Jembatan
3. Bendungan
4. Bendungan dengan pintu air

B.3. Titik-titik Tetap
Titik-titik Tetap berupa tugu-tugu yang dipasang baik yang BPN/ Agraria maupun milik instansi lain, apabila dianggap perlu, adalah detail-detail yang harus diukur sebagai kelengkapan pengukuran situasi.

Tugu-tugu tersebut terdiri dari :
1. Tugu Kerangka Dasar
2. Tugu Titik Tinggi Geodesi (TTG)
3. Tugu Km
4. Tugu dari PBB, Dep. PU, Dep. Perhubungan dan lain-lain.

B.4 Jalan
Jalan sebagai sarana penghubung antar wilayah merupakan detail situasi yang sangat diperlukan dalam rangka pelaksanaan pengukuran dan pemetaan. Jalan dibagi menjadi dua jenis berdasarkan kondisi-nya, yaitu jalan yang diperkeras dan jalan tanah.
1. Jalan diperkeras yaitu jalan yang dibangun dengan pondasi batu dan dilapisi dengan aspal
2. Jalan tanah yaitu jalan yag kondisinya berupa tanah belum dibangun pondasi, berpondasi batu atau berpondasi pasir dan dipasang conblock. Di lapangan kondisinya dapat berupa jalan tanah biasa, jalan setapak, lorong atau gang.

B.5. Rel
Rel merupakan sarana transportasi untuk kereta api antar wilayah atau untuk lori di wilayah perkebunan, misalnya di perkebunan tebu.

B.6. Bangunan-bangunan Penting
Bangunan-bangunan penting adalah bangunan milik atau yang digunakan untuk kegiatan pemerintahan, baik sipil maupun militer, dan untuk keperluan kegiatan masyarakat umum. Untuk memudahkan mengenali bangunan tersebut harus diberi nama bangunan tersebut. Jika tidak ada nama formal-nya maka digunakan nama yang digunakan oleh penduduk setempat.

Contoh bangunan-bangunan penting yaitu :

1. Kantor Gubernur, Bupati/ Walikota, Kecamatan, Desa/ Kelurahan
2. Kantor-kantor instansi pemerintah
3. Kantor Polsek, Koramil dll.
4. Tempat-tempat ibadah
5. Pasar, terminal, stasiun, bandara, lapangan olahraga, dll.
6. Sekolah
7. Jalur listrik tegangan tinggi, telepon, pipa hidran, minyak, gas

B.7. Pemukiman
Pengukuran situasi untuk daerah perkebunan besar adakalanya dijumpai daerah-daerah yang harus dienclave. Untuk daerah enclave yang merupakan pemukiman harus diukur sepanjang batas enclave tersebut.

B.8. Perkebunan, Tegalan dan Sawah
Perkebunan dalam rangka pengukuran situasi hanya dilakukan identifikasi saja, Sedangkan daerah persawahan dan tegalan apabila dilakukan pengukuran bidang, harus diukur sudut-sudut pematang yang merupakan batas milik.
C. Metoda Pengukuran

Pengukuran situasi dapat dilaksanakan dengan dua metoda yaitu terrestrial dan fotogrametriks.

C.1. Metoda Terrestrial
Peta dasar pendaftaran yang dilaksanakan secara pengukuran terrestrial merupakan proses pemetaan dari pengukuran situasi. Pada metoda ini, pengukuran situasi hanya digunakan untuk kelengkapan detail pada pengukuran titik dasar teknik orde 4. Dengan demikian pengukuran situasi-nya dilakukan secara bersamaan.

Hal-hal yanga perlu diperhatikan dalam pengukuran situasi adalah :

1. Pengambilan data sudut dan jarak cukup dilakukan satu kali.
2. Pengukuran jarak dapat dilakukan secara optis.
3. Dalam hal detail situasi berupa tugu dari instansi lain yang memenuhi persyaratan untuk digunakan sebagai titik dasar teknik, pengambilan data ukuran lapangan sama dengan pada pengukuran titik dasar teknik.
4. Poligon cabang untuk pengambilan detail diperbolehkan.

C.1.1. Perencanaan
Peta dasar teknik yang menggambarkan distribusi titik-titik dasar teknik orde 2 atau orde 3 digunakan sebagai peta perencanaan jalur-jalur pengukuran situasi detail. Semua jalur poligon utama harus terikat pada titik-titik dasar teknik tersebut. Buku tugu dan peta topografi digunakan untuk membantu perencanaan jalur pengukuran.

C.1.2. Metoda Pengukuran
Ada beberapa metoda pengukuran yang digunakan untuk pengukuran situasi, yaitu :
1. Metoda Offset
2. Metoda Polar
3. Kombinasi dari kedua metoda
Secara rinci penjelasan masing-masing metoda dijelaskan pada Bab 4 tentang Pengukuran Bidang dan Pembuatan Gambar Ukur.

C.1.3. Peralatan
Karena sifat pengukuran situasi hanya untuk kelengkapan lapangan, maka pengukurannya cukup menggunakan alat ukur dengan ketelitian bacaan sudut minimal 20” , misalnya T0, atau sama dengan pengukuran pada titik dasar teknik perapatan. Dalam praktek di lapangan, mengingat pengukuran titik dasar teknik orde 4 dan pengukuran situasi dilakukan secara bersama, maka untuk kepentingan praktis peralatan yang digunakan biasanya sama, yaitu alat ukur dengan ketelitian bacaan sudut minimal 5”, misalnya T1, Untuk detail bangunan atau detail lain yang dapat digunakan sebagai ikatan, pengambilan data ukuran jarak menggunakan pita ukur atau EDM. Selain detail tersebut dapat menggunakan jarak optis.

C.1.4. Pengukuran dan Pengolahan Data
Data ukuran pengukuran situasi dibuat bersamaan dengan pengukuran titik dasar teknik dan untuk membedakan diberi tanda-tanda tersendiri pada sketsa lapangan. Semua data ukuran dicatat dalam DI 103. Cara pengisian formulir dan sketsa jalur pengukuran dan situasi detail digambar pada bagian bawah DI 103. Lihat bab 2. Apabila menggunakan alat ukur dijital, penyimpanan data lapangan disimpan dalam disket dan diberi label. Print out data ukuran dibuat seperti pada format DI 103. Secara skematis metoda terrestrial dapat digambarkan dalam diagram berikut.
Diagram Tahap Kegiatan Proses Pengukuran dan Pemetaan Metoda Terrestrial
proses pengukuran

C.2. Metoda Fotogrametrik
Pemetaan fotogrametrik adalah pemetaan dengan menggunakan media foto udara. Adapun peta yang dihasilkan dapat berupa peta foto atau peta garis. Pada peta garis semua detail dapat dipetakan sesuai dengan tujuan pemetaan tersebut. Dengan demikian pada metoda ini dapat dilaksanakan pembuatan untuk peta titik dasar teknik, peta dasar pendaftaran dan peta pendaftaran secara bersamaan.

C.2.1. Perencanaan
Perencanaan jalur terbang dan pemasangan titik kontrol tanah dengan memperhatikan skala foto udara, besar sidelap dan overlap. Terdapat dua kegiatan perencanaan yaitu :

1. Perencanaan jalur terbang untuk pemotretan udara yaitu membuat desain jalur terbang pada peta topografi skala 1:50.000. Arah jalur terbang tergantung untuk daerah datar yaitu utara-selatan atau timur-barat, sedangkan untuk daerah bergunung disesuaikan dengan arah topografinya.
2. Perencanaan untuk pemasangan tugu dan premark yaitu merencanakan posisi tugu dan premark sepanjang perimeter daerah pemotretan. Jarak pemasangan tugu disesuaikan dengan skala pemotretan udara sesuai dengan skala foto udara pada peta topografi di atas.

Gambar Rencana Jalur Terbang, Premark dan Titik Kontrol Tanah
jalur terbang

Keterangan :
Δ Tugu perimeter dipasang premark dan dilakukan pengukuran titik kontrol horisontal (orde 3) dan vertikal
Ο Pengukuran titik kontrol vertikal
__ Jalur terbang
---- Areal pemotretan udara.

C.2.2. Pengukuran Titik Kontrol Tanah
Pemasangan titik kontrol tanah/premark yaitu memasang dan mengukur titik-titik kontrol seseuai dengan rencana yang sudah dibuat. Mengingat persyaratan perimeter adalah mutlak, maka pemasangan premark tidak boleh bergeser terlalu jauh dari yang sudah direncanakan dan ketelitannya sama dengan titik dasar teknik orde 3. Pengukuran meliputi dua kegiatan yaitu pengukuran titik kontrol horisontal (X,Y) dan pengukuran titik kontrol vertikal (Z).
Cara konvensional pengukuran kontrol horisontal menggunakan alat ukur biasa dengan persyaratan harus memenuhi ketelitian hasil sama dengan titik dasar teknik orde 3. Adanya perkembangan teknologi alat pengukuran, dengan menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS) dapat dilakukan pengukuran dengan bantuan satelit dan diperoleh hasil ketelitian yang cukup memenuhi persyaratan sama dengan titik dasar teknik orde 3. Sedangkan pengukuran titik kontrol vertikal (Z) menggunakan waterpass teliti.

C.2.3. Pemotretan Udara
Pemotretan udara dilaksanakan dengan kamera udara yang diletakkan pada pesawat terbang yang sudah didesain untuk itu. Jalur pemotretan harus sesuai dengan yang direncanakan. Penyimpangan dari rencana jalur terbang harus diulang. Pada cara konvensional peranan navigator sebagai pembaca peta sangat besar sekali dalam usaha pesawat memasuki memasuki jalur terbang. Adanya kemajuan teknologi GPS akan membantu pilot untuk memasuki jalur terbang. Foto udara yang dihasilkan adalah foto udara vertikal.

C.2.4. Triangulasi Udara (Aerial Triangulation)
Yaitu proses pengadaan titik kontrol minor yang digunakan untuk orientasi absolut pada pekerjaan ploting. Titik kontrol ini akan di transformasikan menjadi titik kontrol tanah.

C.2.5. Identifikasi Lapangan
Identifikasi yaitu proses pemberian nama detail situasi penting yang tampak (toponimi) di foto dengan cara pengecekan di lapangan. Apabila identifikasi lapangan juga merupakan identifikasi batas-batas pemilikan tanah, maka peta yang dihasilkan juga merupakan peta pendaftaran.

C.2.6. Ploting Peta Garis, Rektifikasi
Dari data hitungan proses triangulasi udara dan diapositip dapat dilakukan pemetaan detail-detail situasi pada foto dengan menggunakan peralatan khusus yang disebut stereoplotter. Hasil ploting ini disebut manuskrip. Pada pembuatan peta foto kegiatan ini adalah proses rektifikasi/ ortofoto yang menggunakan peralatan khusus juga yaitu rektifier. Untuk pemetaan secara dijital fotogrametrik hasil rektifikasi berupa chekplot.

C.2.7. Kartografi dan Penggambaran Halus
Yaitu penggambaran halus peta manuskrip pada drafting film dan memberi nama detail-detail yang di-cek sesuai dengan hasil identifikasi lapangan.Secara skematis metoda fotogrametrik dapat digambarkan dalam diagram.
.
Gambar Proses Pengukuran dan Pemetaan Metoda Fotogrametrik
skema pengukuran

C.3. Metoda Lain
Dengan kemajuan teknologi dalam dunia perpetaan dan teknologi satelit, dimungkinkan pembuatan peta-peta skala besar dari citra satelit. Sepanjang ketelitian dan hasil yang diperoleh memenuhi ketentuan yang disyaratkan, penggunaan citra satelit akan membantu dalam hal cakupan wilayah lebih luas dan biaya pemetaan lebih murah.

D. Pemetaan

Pemetaan detail situasi adalah tahap selanjutnya dari proses pemetaan titik dasar teknik. Sedangkan peta dasar pendaftaran merupakan gabungan dari titik dasar teknik dan peta situasi. Tujuan peta dasar pendaftaran yaitu untuk sebagai media untuk melaksanakan pemetaan pemilikan bidang tanah dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanahnya. Walaupun demikian karena pelaksanaan pengukuran dilaksanakan secara bersamaan, pembuatan peta dasar teknik, peta situasi dan peta dasar pendaftaran dapat juga dilakukan secara bersamaan. Dalam hal ini pemberian nama peta tersebut adalah peta dasar pendaftaran. Apabila pengukuran bidang (dalam pengukuran terrestrial) atau identifikasi bidang milik (dalam pengukuran fotogrametrik) juga dilakukan bersama, maka nama peta tersebut adalah peta pendaftaran.

D.1. Skala Peta
Skala peta situasi dan peta dasar pentaftaran dibuat sama, yaitu
1. Daerah pemukiman dengan skala 1:1000 atau 1:500
2. Daerah bukan pemukiman (misalnya pertanian) dengan skala 1:2.500
3. Daerah perkebunan untuk permohonan HGU dibuat dengan skala 1:10.000

D.2. Sistem Koordinat
Peta dasar pendaftaran mempunyai sistem koordinat nasional (pasal 13). Untuk peta dasar pendaftaran yang masih dalam sistem koordinat lokal harus ditransformasikan ke dalam sistem nasional. Metoda untuk melaksanakan transformasi ini antara lain dengan cara transformasi koordinat secara numeris atau grafis. Secara numeris dapat dilakukan dengan software tertentu, misalnya untuk peta-peta fotogrametrik yang masih menggunakan koordinat lokal. Secara grafis dilakukan pada peta-peta terrestrial dengan cara replacing grid atau secara dijital menggunakan software dengan rumus-rumus transformasi koordinat yang ada.
D.3. Pembagian Lembar Peta
Pembagian lembar peta dibedakan menjadi sistem nasional dan lokal.

D.3.1. Sistem Nasional
Karena koordinat setiap nomor lembar peta sudah tertentu, pembuatan lembar pembagian peta sudah dapat dibuat sebelum ada pengukuran bidang di wilayah desa tersebut. Penomoran lembar terdiri dari nomor zone dan nomor lembar peta.

D.2.1.1. Nomor Zone
Nomor zone yaitu penomoran peta yang mengacu pada sistem proyeksi Transfer Mercator (TM) dengan lebar 3° dan disebut sebagai TM-3°. Untuk kepentingan adanya hubungan dengan sistem nasional (sistem UTM), maka central meridian kedua sistem tersebut diimpitkan. Penomorannya juga berpedoman pada sistem nasional. Wilayah Indonesia dengan sistem nasional yang terletak pada batas bujur antara 93°BT dan 141°BT mempunyai 9 zone (lihat lampiran 5), yaitu zone 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53 dan 54.

Dengan menggunakan sistem TM-3° nomor zone mengalami perubahan, yaitu 1 zone menjadi 2 nomor zone. Dengan demikian untuk penomoran perlu ditambahkan dengan angka 1 atau angka 2, kecuali karena posisi geografis negara Indonesia, zone pertama (46) dan terakhir (54) hanya menggunakan satu zone saja. Dengan sistem TM-3° jumlah zone menjadi 16 zone, yaitu 46.2, 47.1, 47.2, 48.1, 48.2, 49.1, 49.2, 50.1, 50.2, 51.1, 51.2, 52.1, 52.2, 53.1, 53.2 dan 54.1.

D.2.1.2. Nomor Lembar Peta
Pemberian nomor lembar peta berdasarkan pada pembagian satu zone TM-3° menjadi wilayah-wilayah yang tercakup pada peta skala 1:10.000 dengan ukuran 60 cm x 60 cm (pasal 15 dan lampiran 6). Dengan demikian satu zone tersebut mempunyai satu sistem koordinat tersendiri. Untuk menghindari bilangan negatip pada angka koordinat pada setiap zone maka ditetapkan bahwa false origin (titik nol semu) yaitu perpotongan antara garis ekuator dengan meridian tengah masing-masing zone terletak pada koordinat timur (x) = 200.000 m dan utara (y) = 1.500.000 m (pasal 3). Dari titik ini ditarik garis-garis sejajar lintang dan bujur (dianggap garis lurus) selebar 6.000 meter (sehingga muka peta peta pada skala 1:10.000 adalah 60 cm ke arah X (barat-timur) dan Y (selatan-utara). Sehingga akan terbentuk 56 kolom (arah X) dan 314 baris (arah Y).
Penomoran masing-masing kotak di ambil dari nomor kolom dan nomor baris dan dimulai dari ujung kiri-bawah (barat-selatan). Untuk nomor kolom menuju arah kanan (timur) dengan nomor 01 sampai nomor 56. Sedangkan untuk nomor baris menuju arah atas (utara) dengan nomor 1 sampai dengan nomor 314. Dengan melihat cakupan wilayah Indonesia seperti pada lampiran 5 lembar peta antara satu zone dengan zone yang lain mempunyai jumlah yang tidak sama.
1. Peta skala 1:10.000

Pemberian nomor lembar peta terdiri dari lima dijit yaitu dua dijit pertama menunjukkan nomor kolom dan tiga dijit selanjutnya adalah nomor baris.
Contoh : 48.2 – 55.314
Keterangan :
48.2 adalah nomor zone
55 adalah nomor kolom lembar peta
314 adalah nomor baris lembar peta
Dengan memperhatikan lampiran 6, apabila dihitung dari false origin, peta dengan nomor lembar 48.2-01.001 mempunyai koordinat awal sebesar X= 32.000 m dan Y=282.000 m.

Gambar Harga Koordinat pada Peta skala 1:10.000 dengan Nomor 48.2-01.001
skala peta
2. Peta skala 1:2.500

Pemberian nomor lembar peta skala 1:2.500 dibuat dengan cara membagi peta skala 1:10.000 menjadi 16(enam belas) lembar dengan rincian 4(empat) lembar kearah kolom dan 4(empat) lembar ke arah baris, dengan format ukuran muka peta 50 cm x 50cm.

Seperti halnya pada peta skala 1:10.000, penomoran dimulai dari ujung kiri-bawah (barat-selatan) dengan nomor 01 dan nomor urut ke kanan (timur) dan berakhir pada nomor 16. Pemberian nomor lembar peta yaitu dengan menambahkan 2(dua) dijit pada lima dijit nomor lembar peta skala 1:10.000 sehingga menjadi 7 dijit.

Contoh : 48.2 – 55.314-05
Keterangan :
48.2 adalah nomor zone
55 adalah nomor kolom lembar peta skala 1:10.000
314 adalah nomor baris lembar peta skala 1:10.000
05 adalah nomor urut lembar peta skala 1:2.500

Gambar Contoh Penomoran Peta skala 1:2.500
Nomor Peta

3. Peta skala 1:1.000

Seperti halnya peta skala 1:2.500, pada peta skala 1:1.000 dibuat dengan cara membagi peta skala 1:2.500 menjadi 9 (sembilan lembar) peta dengan rincian 3(tiga) lembar pembagian ke arah kolom dan 3(tiga) lembar ke arah baris. Dengan demikian satu lembar peta mempunyai format ukuran muka peta 50 cm x 50 cm.

Seperti halnya pada peta skala 1:2.500, penomoran dimulai dari ujung kiri-bawah (barat-selatan) dengan nomor 01 dan nomor urut selanjutnya ke kanan (timur) dan berakhir pada nomor 09. Pemberian nomor lembar peta yaitu dengan menambahkan 1(satu) dijit dari 7(tujuh) dijit nomor lembar peta skala 1:2.500 sehingga menjadi 8 dijit.

Contoh : 48.2 – 55.314-05-5
Keterangan :
48.2 adalah nomor zone
55 adalah nomor kolom lembar peta skala 1:10.000
314 adalah nomor baris lembar peta skala 1:10.000
05 adalah nomor urut lembar peta skala 1:2.500
05 adalah nomor urut lembar peta skala 1:1000

Gambar Contoh Penomoran Peta skala 1:1.000
skala peta
4. Peta Skala 1:500 dan 1:250
Apabila diperlukan peta skala 1:500, maka satu lembar peta skala 1:1.000 dibagi menjadi 4 (empat) lembar peta dengan rincian 2(dua) lembar pembagian ke arah kolom dan 2(dua) lembar pembagian ke arah baris. Satu lembar peta mempunyai format ukuran muka peta 50 cm x 50 cm. Seperti halnya pada peta skala 1:1.000, penomoran dimulai dari ujung kiri-bawah (barat-selatan) dengan nomor 01 dan nomor urut selanjutnya keluang ke kanan (timur) dan berakhir pada nomor 04.

Pemberian nomor lembar peta yaitu dengan menambahkan 1(satu) dijit dari 8(delapan) dijit nomor lembar peta skala 1:1.000 sehingga menjadi 9 dijit.Pada peta skala 1:250 dapat dilakukan hal yang sama seperti pada peta skala 1:500, sehingga penomoran akan menambah 1(satu) dijit lagi dari pemberian nomor peta skala 1:500 sehingga akan menjadi 10 dijit.

Gambar Contoh Penomoran Lembar Peta skala 1:500 dan skala 1:250
lembar skala peta

D.3.2. Sistem Lokal
Sistem koordinat lokal yaitu dalam cakupan daerah tertentu menggunakan sistem koordinat sendiri. Dengan demikian akan memungkinkan satu peta lokal dengan peta lokal yang lain mempunyai koordinat dan sistem penomoran yang sama. Berdasarkan pasal 79 butir e dan sudah diterangkan pada bab 2.1.2 pemasangan dan pengukuran dua titik dasar teknik orde 4 harus dilaksanakan pada setiap permohonan pengukuran, apabila belum ada peta dasar teknik. Untuk selanjutnya petugas ukur harus membuat pembagian lembar peta pada wilayah desa tersebut. Pembagian lembar dibuat dengan berpedoman pada batas wilayah administrasi desa. Apabila tidak ada peta batas administrasi dibuat dengan batas kira-kira. Kelengkapan detail situasi pada peta tersebut akan sangat membantu dalam pembuatan lembar peta. Secara prinsip penomoran peta tetap berpedoman pada nomor zone dan nomor lembar peta.

D.3.2.1. Nomor Zone
Nomor zone hanya terdapat pada sistem koordinat nasional. Sedangkan pada sistem koordinat lokal nomor zone dapat digunakan kode desa/ kelurahan.

D.3.2.2 Nomor Lembar Peta
Pembagian lembar peta dibuat pada skala 1:2.500 saja (dengan luas 1.500 x 1.500 m). Catatan: pembagian pada skala 1:10.000 tidak dibuat. Penomoran berpedoman pada nomor kode desa/ kelurahan, nomor kolom dan baris. Pemberian koordinat lokal dimulai dari nomor lembar di sebelah ujung selatan-barat. Apabila sudah tersedia peta dengan koordinat lokal, maka koordinat peta tersebut dipakai sebagai pedoman. Penomoran lembar pada peta skala 1:1.000, skala 1:500 dan skala 1:250, tahap kegiatannya sama dengan sistem nasional.

Batas Desa/ Kel.
Jalan
Batas lembar peta skala 1:2.500
Titik Dasar Teknik Orde 4
Batas lembar peta skala 1:1.000
Contoh : 07-03.03
07 = kode desa Cempaka Baru
03 = nomor kolom
03 = nomor baris

Gambar Contoh Pembagian Lembar Peta skala 1:2.500
dan skala 1:1.000 pada Koordinat Lokal
pembagian lembar peta

Gambar Diagram Pembuatan Pembagian
Lembar Peta dengan Sistem Koordinat Lokal
pembagian lembar peta

Dalam hal ini penentuan batas desa/ kelurahan belum definitif sehingga penentuan batas dilakukan dengan perkiraan saja, akan memungkinkan terjadinya kelebihan lembar peta dari perencanaan yang sudah dibuat. Untuk itu lembar tersebut ditiadakan dan tidak perlu dilakukan perubahan nomor lembar peta. Hasil pengukuran bidang tanah dipetakan pada lembar yang sudah ada nomor dengan berpedoman pada detail situasi yang ada.

D.4. Proses Pemetaan
Apabila ditinjau dari proses pengukuran. data ukuran, pengolahan data hitungan dan pemetaannya dapat dilakukan dengan cara manual dan semi dijital dan dijital.



Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

manusia gda yang sempurna, jadi mohon maaf kalo ada kekurangan, jd mhon berikan komentar buat blog ini biar bisa membangun..